DIPLOMAT TERPERCAYA, BANJARMASIN – Pemerintah Kota Banjarmasin tengah berupaya memperkuat posisi kain Sasirangan sebagai identitas budaya sekaligus produk ekonomi kreatif yang kompetitif. Salah satu langkah konkret dilakukan melalui Lomba Desain Motif Kain Sasirangan 2025, yang melibatkan 31 desainer dengan latar belakang beragam.

Berlangsung di Aula Rumah Kemasan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin), Minggu (4/5), kegiatan ini tidak semata menjadi ajang seremonial, tetapi diarahkan sebagai sarana penciptaan karya otentik yang bisa bersaing secara hukum dan pasar. Dua kategori lomba dibuka: pewarna tekstil dan pewarna alam, dengan masing-masing 18 dan 13 peserta.

Wali Kota Banjarmasin, H. Muhammad Yamin HR, menyebut kegiatan ini sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku industri kreatif lokal. Namun yang lebih penting, kata dia, adalah lahirnya motif-motif baru yang tidak hanya menarik secara estetika, tetapi juga layak secara hukum dan pasar.

“Motif hasil lomba akan didorong untuk mendapat perlindungan HAKI. Ini penting untuk melindungi karya dari pembajakan sekaligus menambah nilai jual,” ujarnya.

Disperdagin telah menyiapkan 24 slot HAKI bagi karya terbaik, sekaligus membuka ruang lebih luas bagi desainer untuk bereksperimen. Namun perlindungan hukum bukanlah akhir dari proses. Menurut Kepala Disperdagin, Ichrom Muftezar, tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana motif-motif tersebut bisa diadopsi oleh pasar dan diindustrialisasikan secara berkelanjutan.

“Inovasi akan percuma jika tidak didukung pemasaran dan edukasi dagang. Maka ke depan, kami ingin membangun ekosistem, dari desain, produksi, hingga ekspor,” kata Muftezar.

Ketua Dekranasda Banjarmasin, Neli Listriani, juga menyuarakan pentingnya peran pengrajin sebagai garda depan pelestarian budaya. Ia berharap, momentum ini bukan hanya menghasilkan motif-motif baru, tetapi juga kesadaran kolektif untuk membawa Sasirangan ke level yang lebih tinggi.

Sementara itu, Advokat Syamsul Khair, S.H., yang aktif mengadvokasi sektor UMKM dan ekspor-impor, menekankan pentingnya langkah lanjutan pasca perlindungan HAKI. “Yang paling krusial bukan hanya melindungi, tapi memasarkan. Kita bicara soal ekspor, soal devisa negara, soal penguatan ekonomi lokal,” ujarnya.

Khair menambahkan bahwa pengrajin harus dibekali kemampuan teknis soal strategi dagang internasional dan hak hukum atas karyanya jika terjadi pelanggaran. “Kalau pemerintah bisa fasilitasi sampai ke tahap itu, barulah Sasirangan benar-benar menjadi aset ekonomi, bukan sekadar ikon budaya yang dikagumi tapi ditinggalkan pasar,” tegasnya.

Dengan pasar tekstil etnik global yang terus tumbuh, banyak pihak melihat Sasirangan sebagai potensi ekspor yang belum digarap maksimal. Namun tanpa intervensi serius dari hulu ke hilir, mulai dari desain hingga distribusi, potensi tersebut akan tetap menjadi slogan yang tidak berdaya saing.