Belajar dari Sunhaji, Tapi Jangan Lupa Mandiri
Oleh: Wartawan sotoy
Fenomena Sunhaji belakangan ini benar-benar mengundang perhatian. Setelah dihina oleh Gus Miftah dalam sebuah acara pengajian, tiba-tiba hidup Sunhaji berubah drastis. Sebuah hinaan yang awalnya menyakitkan berujung pada seribu berkah—dana donasi, hadiah umrah, bahkan modal usaha mengalir deras kepadanya.
Sebuah kisah tentang “satu hinaan, seribu rezeki” yang membuat banyak orang terkesan. Namun, di balik cerita viral ini, penulis merasa perlu untuk mengajak kita semua merenung: apakah rezeki itu benar-benar berkah, ataukah kita sedang terjebak dalam pola pemberian yang bisa memperpanjang ketergantungan?
Sebelum penulis melanjutkan, perlu ditegaskan bahwa penulis tidak membenarkan tindakan Gus Miftah. Menghina seseorang, apalagi di hadapan banyak orang dalam konteks pengajian atau dakwah, jelas tidak etis. Sebagai tokoh yang dihormati, Gus Miftah seharusnya lebih berhati-hati dalam berbicara. Meskipun ia sudah meminta maaf, tindakan itu tetap memberikan dampak negatif, baik bagi Sunhaji maupun bagi masyarakat yang menyaksikan.
Namun, meskipun hinaan tersebut tidak dibenarkan, kenyataannya Sunhaji menerima “berkah” dari insiden tersebut. Banyak orang merasa kasihan dan tergerak untuk memberikan bantuan. Sejumlah besar donasi pun mengalir deras. Hal ini menyisakan pertanyaan penting: apakah bantuan tersebut benar-benar membawa kebaikan jangka panjang bagi Sunhaji, ataukah kita hanya sedang memperkuat mentalitas ketergantungan?
Rezeki atau Ketergantungan?
Pemberian rezeki memang hal yang baik. Siapa yang tidak terharu melihat kemurahan hati banyak orang yang ingin membantu Sunhaji? Bantuan uang tunai, hadiah umrah, hingga modal usaha diberikan dengan penuh semangat. Namun, penulis tidak bisa tidak bertanya: apakah ini benar-benar membantu dalam arti yang lebih luas? Atau justru kita sedang memperpanjang ketergantungan?
Ketika kita memberi begitu saja tanpa memikirkan bagaimana memberikan kemandirian kepada penerima bantuan, kita sebenarnya berisiko mengajarkan mereka untuk terus bergantung pada belas kasihan orang lain. Bantuan itu penting, tetapi jika tujuan kita hanya memberi tanpa mengajarkan bagaimana berdiri di kaki sendiri, kita hanya akan menciptakan siklus ketergantungan yang tidak sehat. Sunhaji mungkin merasa bersyukur dengan bantuan ini, tetapi pertanyaan besar yang harus diajukan adalah: apakah ini benar-benar mengubah hidupnya dalam jangka panjang?
Kemandirian yang Lebih Berarti
Ustadz Felix Siauw dalam sebuah podcast mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan mentalitas “kasihan.” Memberi itu mulia, tetapi jika yang kita ajarkan hanyalah ketergantungan, kita malah menghalangi seseorang untuk mandiri. Mentalitas yang sehat adalah tangan di atas, yang lebih baik dari tangan di bawah. Maksudnya, kita harus mengajarkan orang untuk berusaha sendiri dan mengubah nasib mereka, bukan hanya mengandalkan belas kasihan.
Bantuan bisa memberikan rezeki sesaat, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengubah cara berpikir orang yang kita bantu. Mengajarkan mereka untuk bekerja keras dan tidak menggantungkan diri pada bantuan orang lain adalah cara yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang. Ini bukan soal berapa banyak uang yang diberikan, tetapi tentang memberikan kesempatan kepada orang untuk mengubah nasibnya dengan usaha sendiri.
Menghindari Mentalitas Minta-Minta
Bantuan dari para content creator, yang membeli jualan Sunhaji atau memberikan uang untuk tujuan simpatik, juga mengundang refleksi. Apakah tindakan mereka benar-benar membantu Sunhaji, atau sekadar menjadi bagian dari “komoditas” kesedihan yang kini dijual di media sosial? Meskipun niat mereka baik, penulis khawatir bahwa tindakan tersebut justru memperburuk mentalitas orang yang menerima bantuan.
Memberi uang atau membeli barangnya adalah tindakan yang baik. Namun, ketika ini dilakukan tanpa kesadaran bahwa kita juga harus memberikan bekal untuk mandiri, kita hanya memperburuk keadaan. Jangan sampai kita menciptakan budaya di mana orang merasa cukup dengan bantuan orang lain, dan tidak berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.(*)
Tinggalkan Balasan