FJPI Kalsel dan AJI Banjarmasin Soroti Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan
DIPLOMAT TERPERCAYA, BANJARMASIN – Kekerasan seksual masih menjadi ancaman nyata bagi jurnalis perempuan di Indonesia. Riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama PR2Media pada 2022 menunjukkan bahwa 82% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual saat menjalankan tugas jurnalistik.
Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Membangun Ruang Aman untuk Jurnalis Perempuan” yang digelar oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalimantan Selatan bekerja sama dengan AJI Persiapan Banjarmasin, Rabu (28/5), di ruang redaksi Kalimantan Post, Banjarmasin.
Tiga narasumber dihadirkan dalam diskusi ini: Soraya Alhadi dari AJI Banjarmasin, Melinda Bahri selaku Ketua Ikatan Psikolog Klinis Wilayah Kalimantan Selatan, dan Nanik Hayati, jurnalis senior sekaligus pengurus FJPI Kalsel.
Soraya Alhadi menyoroti tingginya angka kekerasan seksual dalam dunia jurnalistik, baik dalam bentuk kekerasan verbal, fisik, maupun relasi kuasa.
“Profesi ini masih didominasi oleh maskulinitas. Stigma bahwa jurnalis bukan profesi untuk perempuan masih kerap ditemui. Ini yang harus kita lawan,” ujar Soraya.
Ia juga menekankan pentingnya sistem pengaduan di ruang redaksi serta SOP yang melindungi korban dan memberi sanksi pada pelaku.
Nanik Hayati menyampaikan bahwa menciptakan ruang aman harus menjadi kesadaran bersama seluruh jurnalis, bukan hanya tanggung jawab organisasi media.
“Menjadi perempuan saja sudah sulit, apalagi menjadi jurnalis perempuan. Ruang aman harus dibangun secara kolektif dalam keseharian kerja kita,” kata Nanik.
Sementara itu, Melinda Bahri menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender (KBG) dalam dunia kerja media sering kali tak kasat mata namun berdampak besar terhadap psikologis korban.
“Kekerasan seksual bisa berupa ucapan bernada seksual, intimidasi, hingga manipulasi relasi kuasa. Semua itu berdampak pada kesehatan mental korban,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa budaya patriarki, ketergantungan ekonomi, dan lingkungan sosial yang permisif membuat korban kerap enggan melapor. Oleh karena itu, perlu ada dukungan psikologis dan sistem pemulihan yang berpihak pada korban.

Di luar diskusi, Advokat Syamsul Khair, SH, yang aktif menangani kasus Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Banjarmasin, menyampaikan pentingnya perlindungan hukum bagi jurnalis perempuan.
Menurutnya, perlindungan itu telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mencakup:
Perlindungan dari kekerasan seksual di lingkungan kerja dan saat peliputan.
Hak atas keadilan, pemulihan, dan pendampingan hukum bagi korban.
“Jurnalis perempuan harus berani melapor jika mengalami kekerasan. Pendampingan hukum bisa dilakukan dengan dukungan perusahaan media dan organisasi profesi seperti AJI,” tegas Khair.
Diskusi ini menjadi langkah awal untuk membangun ruang kerja yang lebih aman, adil, dan suportif bagi jurnalis perempuan, serta membuka ruang dialog yang lebih luas antara pelaku media, psikolog, dan praktisi hukum.
Tinggalkan Balasan