Penulis: Aditya, Anggota Peradi DPC Banjarmasin

ADVOKAT adalah pilar utama dalam menegakkan hukum dan keadilan, sebuah profesi yang memikul tanggung jawab besar di tengah dinamika masyarakat. Di Indonesia, profesi ini memiliki landasan hukum melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mengatur keberadaan organisasi profesi, termasuk Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Dengan Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH., MM. di pucuk pimpinan, PERADI kembali jadi sorotan, terutama soal gagasan menjadikannya state organ atau wadah tunggal advokat.

Namun, seperti biasa, gagasan besar ini tidak datang tanpa drama. Alih-alih menjadi solusi, perjalanan PERADI justru dipenuhi tantangan, baik dari persaingan antarorganisasi maupun persoalan internal. Jadi, apakah wadah tunggal ini hanya impian yang sulit dicapai, atau sebenarnya langkah konkret bisa dilakukan?

Mengurai Realitas: Wadah Tunggal yang Terpecah

Salah satu tantangan utama PERADI adalah persaingan dengan organisasi advokat lain. Di atas kertas, ide menyatukan profesi advokat dalam satu organisasi terdengar mulia: memudahkan pengelolaan, meningkatkan standar profesi, dan menghilangkan dualisme yang membingungkan publik. Tapi di lapangan, kenyataannya jauh dari ideal. Banyak organisasi advokat lain yang mengklaim legitimasi, menciptakan fragmentasi yang merugikan semua pihak, termasuk masyarakat yang membutuhkan layanan hukum.

Belum lagi persoalan independensi dan integritas. Isu pelanggaran kode etik, advokat abal-abal, hingga lemahnya pengawasan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Bahkan di internal PERADI sendiri, kritik soal tata kelola sering terdengar. Beberapa anggotanya terang-terangan menyebut perlunya reformasi total untuk menjadikan organisasi ini benar-benar layak menjadi wadah tunggal.

Mungkinkah State Organ Jadi Jawaban?

Menjadikan PERADI sebagai state organ adalah opsi yang mulai ramai dibahas. Dalam konteks ini, PERADI akan berada di bawah pengawasan negara, namun tetap diharapkan mempertahankan independensinya. Untuk mewujudkannya, setidaknya ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:

  1. Penguatan Landasan Hukum
    Revisi UU Advokat menjadi syarat mutlak. Status PERADI harus ditegaskan secara hukum sebagai lembaga semi-otonom dengan kewenangan jelas dalam rekrutmen, pengawasan, dan pengembangan profesi advokat.
  2. Integrasi Organisasi Advokat
    Semua organisasi advokat yang ada harus bersatu di bawah payung PERADI. Proses ini memerlukan dialog intensif dan pendekatan regulasi yang tegas agar tidak menimbulkan resistensi.
  3. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
    Sebagai state organ, PERADI harus punya mekanisme pengawasan yang ketat. Dewan etik independen bisa dibentuk untuk memastikan pelanggaran kode etik ditangani dengan serius.
  4. Standarisasi Pendidikan dan Pelatihan
    Lulus ujian advokat tidak boleh menjadi akhir pembinaan. Pendidikan lanjutan yang berbasis kompetensi harus menjadi keharusan, demi memastikan para advokat siap menghadapi tantangan hukum yang terus berkembang.

Antara Harapan dan Risiko

Jika langkah-langkah di atas berhasil dilakukan, PERADI bisa menjadi motor penggerak perubahan besar dalam profesi advokat di Indonesia. Namun, tidak ada kebijakan tanpa risiko. Pengawasan negara yang terlalu ketat bisa mengancam independensi advokat, sementara perubahan struktur organisasi tentu memerlukan anggaran besar yang tak sedikit.

Akhir Kata: Masih Panjang Jalan yang Harus Dilalui

Gagasan menjadikan PERADI sebagai wadah tunggal adalah upaya ambisius yang membutuhkan komitmen dari semua pihak. Kalau ini berhasil, bukan hanya advokat yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat luas yang semakin percaya pada sistem hukum Indonesia. Namun, kalau gagasan ini hanya berhenti di tataran wacana tanpa eksekusi matang, PERADI akan terus menjadi simbol organisasi besar yang kehilangan arah.

Kita tunggu saja, apakah PERADI mampu membuktikan dirinya sebagai pilar kokoh bagi profesi advokat, atau sekadar nama besar yang terjebak dalam tantangan tanpa akhir.(*)