Pendidikan Karakter di Barak Militer: Pigai dan Syamsul Khair Satu Suara, Asal Tanpa Kekerasan
DIPLOMAT TERPERCAYA, BANJARMASIN – Gagasan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mendidik siswa bermasalah melalui sistem pembinaan di barak militer menuai dukungan dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai. Ia menilai program tersebut tidak melanggar prinsip HAM dan justru bisa menjadi model nasional pembentukan karakter anak.
“Kalau Jawa Barat sukses, maka sesuai kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian HAM, kami akan menyampaikan kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk mengeluarkan peraturan supaya model ini bisa dilaksanakan secara masif di seluruh Indonesia,” ujar Pigai, Kamis (8/5/2025), dikutip dari Antara.
Menurut Pigai, pendekatan barak ini bukanlah bentuk corporal punishment atau hukuman fisik, selama tidak mengandung kekerasan seperti pemukulan atau tindakan menyakitkan lainnya. Sebaliknya, ia melihat program ini sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia — khususnya dalam hal disiplin, tanggung jawab, dan mentalitas kebangsaan.
“Kalau variabel-variabel ini seirama dengan HAM, berarti tidak bertentangan. Pendidikan karakter itu justru diperlukan untuk mencetak generasi yang siap menyambut visi Indonesia Emas 2045,” jelas Pigai.
Dukungan terhadap program ini juga datang dari Advokat Kalimantan Selatan, Syamsul Khair, S.H., yang menyatakan bahwa pembinaan di barak militer bisa menjadi sarana efektif selama tetap dalam koridor pendidikan, bukan penghukuman.
“Selama pendekatan ini tidak mengandung kekerasan dan tetap menghormati hak anak, pembinaan ala militer bisa menjadi alat membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab. Ini bagian dari bela negara,” kata Khair, Sabtu (18/5/2025).
Sebagai cucu dari pejuang ALRI Divisi IV Kalimantan, Khair mengingatkan pentingnya pembentukan karakter kebangsaan sejak usia dini. Ia mengutip Pasal 30 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab seluruh rakyat, bukan hanya militer.
“Kita butuh generasi muda yang cinta tanah air dan siap membangun bangsa. Tapi itu harus dibentuk lewat pembinaan, bukan penindasan,” tegasnya.
Khair juga mendukung langkah Kementerian HAM untuk membawa program ini ke tingkat nasional, dengan syarat ada regulasi yang ketat, pengawasan ketat terhadap pelaksanaannya, serta pelibatan tenaga profesional seperti psikolog dan pendidik.
“Anak-anak yang bermasalah bukan untuk dihukum, tapi diarahkan. Model ini bisa efektif asal dijalankan dengan pendekatan humanis dan edukatif,” pungkas Khair.(*)
Tinggalkan Balasan