Demokrasi yang Dikorupsi Tanpa Opsi
oleh: Wartawan sok politik
BUKAN Pilkada kalau nggak ada drama, bukan? Pilkada Banjarbaru 2024 jadi bukti betapa kita masih haus akan bumbu-bumbu kontroversial yang bisa bikin masyarakat “terhibur” (atau mungkin malah sakit hati).
Kali ini, drama utama bukan hanya soal siapa yang terpilih atau siapa yang tersingkir, tapi tentang sebuah keputusan yang bikin rakyat, terutama yang ngerasa pilihannya nggak dihargai, cuma bisa geleng kepala.
Jadi gini, di Pilkada Banjarbaru 2024 ini, kita punya dua pasangan calon. Nomor urut 1, Erna Lisa Halaby-Wartono, dan nomor urut 2, Aditya Mufti Arifin-Said Abdullah.
Masalahnya, Paslon 02 langsung didiskualifikasi pada 31 Oktober 2024 karena dianggap melanggar aturan yang katanya menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Oke, itu sah-sah aja. Pihak KPU jelas sudah punya dasar untuk itu. Tapi, tunggu dulu… Ini dia masalahnya.
KPU yang seharusnya bisa berpikir lebih bijak, justru bikin kebijakan yang makin memperburuk keadaan. Mereka menyediakan surat suara tanpa opsi kotak kosong. Alasannya karena waktu mepet dan sudah tercetak sebelum paslon 02 didiskualifikasi.
Bayangkan, pemilih yang merasa kedua paslon nggak layak, nggak punya pilihan selain memilih paslon yang ada atau… gigit jari. Ya, kalau mau protes, ya sudah jadi suara tidak sah.
Nah, di sinilah letak masalahnya. Suara nggak sah di Pilkada Banjarbaru 2024 mencapai 68,69 persen atau lebih dari 78 ribu suara! Sedangkan suara sah buat paslon 01 hanya 31,40 persen atau sekitar 36 ribu lebih. Loh kok bisa begitu?
Coba ditarik kesimpulan: suara sah untuk paslon 01 kalah jauh, tapi karena nggak ada kotak kosong yang bisa jadi pilihan, mereka tetap menang. Menang tanpa perjuangan! Ini baru kemenangan yang paling gampang.
Tentu saja mereka nggak perlu susah-susah untuk dapat kemenangan mutlak. Mereka cuma perlu memanfaatkan kekosongan yang tercipta karena rakyat yang kecewa nggak diberi pilihan lain.
Sudah lah, cukup curhat di media sosial atau bikin aksi, rakyat sudah dipaksa untuk menerima “keputusan” ini. Itulah definisi demokrasi kita saat ini: sistem yang dibikin supaya “memenangkan” yang sudah ada, tanpa benar-benar peduli siapa yang merasa pilihan mereka nggak dihargai.
Bisa dibayangkan kan, seandainya ada kotak kosong di surat suara? Mungkin saja angka suara sah untuk paslon 01 nggak sampai segitu, dan angka suara tak sah nggak bakal se-gila itu. Tapi tentu saja, KPU memilih untuk mereduksi opsi yang seharusnya menjadi hak dasar demokrasi: hak untuk memilih, bukan hak untuk diberi pilihan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Dan di sinilah bagian yang paling menggelitik: Gerakan Masyarakat Banjarbaru yang mulai teriak-teriak soal suara tak sah ini. Mereka bukan cuma kecewa, tapi merasa dibohongi. Lebih dari 78 ribu suara tak sah itu bukan sekadar angka.
Itu adalah suara dari rakyat yang merasa hak pilihnya dipasung, diambil alih oleh sistem yang jelas-jelas sudah memilihkan pilihan untuk mereka. Jangan-jangan, KPU berpikir kita ini robot yang hanya butuh tombol “pilih” tanpa sadar kalau mereka sudah memanipulasi hasil yang seharusnya lebih adil.
Tapi ya begitulah, di negara yang katanya demokratis ini, suara rakyat bisa dibungkam hanya karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian pihak-pihak yang berkepentingan. Kalau rakyat merasa kecewa, ya sudahlah, anggap saja “biasa”. Begitu banyak aturan yang cuma jadi bentuk formalitas untuk menjaga kestabilan sistem, bukan untuk menegakkan keadilan. Dan kita yang terjebak di dalamnya? Cuma bisa pasrah.
Jadi, Pilkada Banjarbaru kali ini lebih mirip sandiwara daripada pesta demokrasi. Drama-nya terlalu panjang dan plot twist-nya sudah bisa diprediksi dari jauh-jauh hari. Kita yang merasa nggak puas cuma bisa ngelamun dan berharap ada perubahan di Pilkada berikutnya. Tapi, ya gitu deh, kalau sistemnya masih seperti ini, kita cuma bisa menunggu kejutan dari “drama” selanjutnya.
Demokrasi memang butuh pesta, tapi kalau pesta itu cuma buat para pemain yang sudah punya peran, apa masih layak kita sebut itu demokrasi?(*)
Tinggalkan Balasan